Cari Blog Ini

Sabtu, 10 April 2010

Konsep manusia sebagai basyar, insan, abdun dan khalifah
Dalam al-Qur'an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur'an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran [Musa Asy'arie, 1992 : 22]. Kata insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280].

Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban.

Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis, (Musa Asy'arie, 1996 : 20) karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.

Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS. al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279].

Penggunaan kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia [M.Quraish Shihab,1996 : 280]. Musa Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati.

Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur'an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4]. Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional [adil] susunannya [Q.S.82:7].

Abdurrahman An-Nahlawi [1995], mengatakan manusia menurut pandangan Islam meliputi :

[1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya [QS..al-Isro: 70 dan al-Hajj : 65].

[2] Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10].

[3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya "afala ta'kilun", “afala tata fakkarun", dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar.
Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya [Rif'at Syauqi Nawawi, 2000 : 11].

Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan -
Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh".
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah", kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain itu al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah.

Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut :
"Sesungguhnya Kami Jadikan untuk [isi neraka Jahanam] kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai".
Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya.

A. Pendahuluan

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)

Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).

Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

B. Hakekat manusia

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)

Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004)

Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;

Ruh Tuhan + Lempung Busuk Manusia

Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)

Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.

Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia

No

Eksistensi manusia

Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)

Basic Human Values (Basic Islamic Values)

Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)

1

Al Insan

Rasa ingin tahu

Intelektual

Intelektual

2

Al Basyar

Rasa lapar, haus, dingin

Biologis

Biologis

3

Abdullah

Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan

Spiritual

Spiritual

4

An-Nas

Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian

Sosial

Sosial

5

Khalifah fil ardli

Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan

Estetika

Estetika

Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.

C. Kedudukan dan peran manusia

Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.

D. Tujuan hidup manusia

Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)

Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar